Temukan rahasia kaya lewat internetTemukan cara gampang untuk sukses

Sabtu, 10 April 2010

Petikan syair pada buku maulud Barzanji, karya Sayyid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji

Kalam Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji

Terbitlah purnama kepada kita
Dengan terbitnya tenggelam seluruh bulan lainnya
Rupawan seindah wajahmu tak pernah kami menyaksikannya
Wajah ceria penuh sukacita

Engkau mentari, engkaulah punama
Engkau cahaya di atas segala cahaya
Engkau pembangkit semangat dan daya
Engkau lentera hati kita

Wahai kekasihku wahai Muhammad junjunganku
Wahai bintang dari Timur dan Barat
Wahai engkau sang pendukung wahai yang terpuji
Wahai imam dua kiblat

Siapa yang sempat melihat wajahmu betapa untungnya
Wahai engkau yang berbudi mulia pada orangtua
Mata airmu yang sejuk dan suci
adalah tempatku mereguk minum di hari kebangkitan nanti

Kami tak pernah melihat unta-unta
dari mana pun asalnya berjalan gembira
kecuali saat mereka menujumu semata
Awan-awan melindungimu
Dan tuan rumah mulia melimpahkan segala
Hadiah kehormatan bagimu saja

Pepohonan mendatangimu menitikkan airmata
merundukkan diri antara dua tanganmu
Dan kijang-kijang yang melesat itu wahai kekasihku
Mereka pun datang untuk perlindunganmu

Bila semua karavan telah siap sedia
saat keberangkatan telah diumumkan bagi semua
‘Kudekati mereka dengan basah airmata
sembari berkata, “tunggu sejenak, wahai tuan kepala,
dan kirimkan untukku beberapa surat ini saja”
Wahai rasa rindu yang tak tertanggungkan

Di tengah tujuan nampak rumah-rumah hunian
Waktunya malam hari dan saat awal subuh sekali
Di puncak gembira semua makhluk di alamraya ini
Untukmu wahai pria berdahi rupawan berseri
Cinta mereka bagimu sungguh tak ada yang memadai
Penuh tunggu penuh rindu
dalam kehadiran aura jiwamu
Umat manusia yang ada dimana-mana laksana terpana

Engkaulah penutup seluruh nabi
Dan pada Dia Tuhanmu bersyukur engkau tiada henti
Hamba-hambamu ini wahai Tuhan amat mengharapkan
seluruh rahmatmu berlimpah baginya tanpa henti

Pikiran kami tentang dirimu junjunganku Muhammad
senantiasa luhur dan suci
Wahai pembawa berita gembira wahai pemberi peringatan
bagi umat manusia
Bantu aku ya Allah dan lindungi aku
Wahai yang mampu melindungi siksa api neraka
Wahai yang mampu menolong dan tempat kami berlindung
di saat-saat malapetaka harus ditanggung

Sukacitalah sang budak yang telah merasakan arti
bahagianya merdeka
dari segala pedih dan cemas atasmu Muhammad kekasih hati
yang cahayanya begitu terang layaknya purnama
bagimu seluruh kebaikan sempurna

Dibanding dirimu tak ada lagi yang lebih suci
Wahai kakek baginda Husain
Bagimu seluruh rahmat Allah semata
terus menerus melimpah sepanjang masa

Wahai engkau yang derajatnya tinggi diangkat
Maafkan segala dosa yang kami buat
dan maafkan segala kesalahan kami
Engkau murah maaf bagi segala salah
dan segala laku tercela

Engkau yang memaafkan semua dosa
Engkau yang meluruskan jalan kami yang menyimpang
yang mengetahui semua rahasia
Bahkan yang paling dalam dari semua rahasia
Engkau yang menjawab semua doaku

Tuhanku, kasihi semua hambamu ini
melalui jalan kebajikan dan kebaikan
Semoga rahmatMu tercurah bagi Ahmad
rahmat melebihi seluruh baris
yang pernah ditulis

Aku berdoa bagi Muhammad yang selalu dalam bimbinganNya
Pemilik wajah cahaya wajah yang berkilau laksana sang surya
Malam hari kelahirannya bagi Islam adalah saat sukacita
saat semua berbangga

Hari itu anak perempuan Wahab
Memperoleh berkah kebesaran tak wanita lain pun
pernah mendapatkan
Dia pun mendatangi kaumnya
lebih anggun
bahkan dari Maryam wanita yang perawan selamanya

Masa kelahirannya adalah masa kedurhakaan pada puncaknya
dan kelahirannya adalah puncak bencana bagi para pendurhaka

Namun dalam suasana kebahagian penuh sukacita
Yang berjalan tanpa henti-hentinya
Kabar baik itu datang juga
Telah lahir seorang Muhammad
Pribadi yang selalu berada dalam bimbinganNya
dan masa bahagia
Serta yang di atasnya semua bahagia
datanglah pada akhirnya

Rabu, 03 Februari 2010

DEKAT , JAUH, BESAR, BERAT, RINGAN, Dan TAJAM

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya..

Pertama,
"Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab : "orang tua, guru, kawan, dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu BENAR. Tetapi sesungguhnya yang paling dekat dengan kita adalah KEMATIAN. Sebab itu adalah janji Allah SWT, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (Q.S. Ali Imran 185)

Kedua,
"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".
Murid -muridnya menjawab : "negara Cina, bulan, matahari dan
bintang-bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawaban yang mereka berikan itu
adalah BENAR.
Tapi yang paling benar adalah MASA LALU. Walau bagaimanapun caranya kita takkan mampu kembali ke masa lalu.
Oleh sebab itu, kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang
dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Ketiga,
"Apakah yang paling besar di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab : "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawaban itu BENAR kata Imam Ghozali. Tetapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah HAWA NAFSU (Q.S.Al-A'Raf 179).
Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa
kita ke neraka.

Keempat,
"Apa yang paling berat di dunia ini?".
Ada yang menjawab : "besi dan gajah". Semua jawaban adalah BENAR, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Q.S. Al-Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, gunung-gunung, bahkan para malaikat semua tidak mampu ketika
Allah SWT meminta mereka untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga
banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tak mampu memegang
amanahnya.

Kelima,
"Apakah yang paling ringan di dunia ini?"
Ada? yang menjawab : "kapas, angin, debu dan daun-daunan".
Semua itu BENAR kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHOLAT. Seringkali hanya karena pekerjaan, kita tinggalkan sholat kita.. Hanya karena hal duniawi, seringkali kita meninggalkan perintah sholat.

Dan pertanyaan keenam adalah,
"Apakah yang paling tajam di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab dengan serentak : "pedang".
BENAR, kata Imam Ghozali, tapi sesungguhnya yang paling tajam itu adalah LISAN. Karena melalui lisan kita, manusia akan mudah untuk menyakiti hati dan melukai perasaan
saudaranya sendiri.

Teman, sekarang kita tahu bahwa hal yang paling dekat dengan diri kita itu adalah kematian, hal yang paling jauh dari diri kita itu adalah masa lalu, hal yang paling besar adalah hawa nafsu, hal paling berat adalah memegang amanah, hal yang paling ringan adalah meninggalkan shalat, dan hal yang paling tajam didunia ini sesungguhnya adalah lisan kita..

Maka mulai sekarang mari bersama-sama kita selalu renungkan, betapa selama ini kita tak pernah menyadari semua hal itu.. seringkali kita merasa sudah sempurna seakan bisa hidup selama-lamanya, padahal kita tak pernah sadar bahwa kematian itu sungguh betapa dekat.. Kita pun selalu menyianyiakan masa kini, karena merasa kita masih mempunyai masa depan, padahal kita takkan pernah mampu utk mengulang masa sekarang di masa yang akan datang.. Seringkali kita ikuti terus hawa nafsu kita, padahal betapa hawa nafsu itulah yang kelak bisa menjerumuskan kita ke lautan api neraka, seringkali kita melepas amanat yang kita pegang, dan seringkali kita begitu ringan untuk meninggalkan warisan dari Nabi Muhammad SAW, yaitu shalat.. Dan kitapun sering menggunakan lisan kita, untuk menyakiti perasaan orang lain, bahkan kepada ibunda kita sekalipun..

Syair Penjual Kacang

Al-Habib, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami shalat Isya’ suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.

Berbeda dengan adatnya, sesudah tahiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Habib langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.

”Salah satu dari kalian keluarlah sejenak dari ruangan ini,” katanya, ”Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”

Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.

”Makanlah kalian semua,” lanjut Al-Habib, ”Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan, dan dibeli oleh kemuliaan.”

Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-Habib, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.

”Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-Habib, ”hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan.”

”Tetapi ya Habib,” seseorang bertanya, ”apa hubungannya antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?”

Al-Habib menjawab, ”Penjual kacang itu bekerja sampai nanti larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan dalam hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”

Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Al-Habib meneruskan, ”Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga rupiah hasil kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental pencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”

”Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-Habib bertanya, ”Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibandingkan kalian, atau di mata Allah ia lebih tinggi maqam-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”

Dan ketika akhirnya Al-Habib mengatakan, ” Mahamulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan…” – salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al-Habib erat-erat.

Powered by FeedBurner

Hak Cipta Dilindungi oleh : undang - undang yang berlaku