Historical accounts kehidupan para sufi terangkai bagaikan legenda. Cerita nan kompleks: kisah penuh hayalan, dan kasat pula dengan nilai-nilai spiritual, rasionil dan irasionill. Maka, sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa tidak mungkin kehidupan kita dapat terpisahkan dari kisah-kisat tersebut, dan sulit pula untuk membedakan bagian mana yang merupakan cerita fiksi dan bagian mana yang menjadi realitas historis. Inilah tasawuf yang datang selalu “nyentrik” untuk kita pelajari.
Di zawiyah-zawiyah, bangunan khusus yang dipakai para sufi untuk mengasingkan diri, mereka menyepi; berdzikir dan membaca aurad. Hay ibn Yaqdhah, ”anak rusa” yang berhasil menemukan Tuhannya setelah lama melakukan ”riset” dan berkali-kali mengalami kegagalan. Demikian metode Ibn Thufail, filosof neo-platonis, mengambarkan proses kasyaf seorang sufi. Ada Ibrahim Ibn Adham sang jutawan (atau mungkin milyader) yang ihklas menukar kemewahan dunia dengan kain wol kasar dan mengembara menjadi ”misionaris” sufi. Adalah Rabiah Al Adawiyyah yang menolak lamaran Hasan Al Basri lantaran sudah merakasan nikmatnya ”kencan” dengan Tuhan, di pengasingan spiritualnya.
Begitulah sekelumit kisah– sekali lagi mengulang– yang sulit memisahkan antara bagian yang mitos dan realitas historis. Sejarah lahirnya tasawuf terekam dalam berbagai riwayat. Menurut catatan sejarah ia muncul pada abad ke dua hijriyyah, namun prakteknya ia lahir bersamaan dengan datangnya Islam. Saat itu, manusia terbuai pesona duniawi seperti harta, tahta, wanita dan jabatan. Mereka hanya menyibukkan diri pada berbagai hal yang berkaitan dengan urusan dunia (dan lalai masalah ukhrowi !!!), dan menumpuknya. Sebagian orang yang masih bersih hatinya (baca: zuhud dan wira’i) dan tidak mau tertular virus ini lalu pergi mengasingkan diri. Golongan terakhir ini menyibukkan dirinya untuk beribadah dalam ”pengasingan.”
Kemudian, praktik spiritual semacam ini terkenal dengan nama tasawuf. Dari aspek epistemologis tasawuf berasal dari kata ”ash shafa”, suci. Pendapat lain mengatakan, berasal dari ”ash shaf al awwal.” Sebab, di hadapan Tuhan, mereka adalah orang-orang terdepan. Menurut yang lain, tasawuf diambil dari kata ”ash shuffah” karena disamakan dengan sifat dan perilaku ahl shuffah pada zaman nabi Saw.
Kisah-kisah para sufi pada awalnya murni untuk menjauhi carut marutnya fitnah dunia dan pelbagai macam bentuknya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti tarekat– atas bimbingan mursyid. Misalnya, untuk menyebutkan beberapa contoh, Al Qodariyyah, As Syadziliyyah, Naqsabandiyah dan lainnya. Mereka selalu dibimbing untuk selalu ingat kepada Allah kapan dan di mana pun berada. Dalam perjalanan waktu, doktrin-doktrin tasawuf mulai kesusupan aliran filsafat, akidah, pemikiran ilmu lain termasuk (ideologi) politik dan lain sebagainya. Sebut saja salah satu tarekat di Libya, As Sanusiyyah. Dari sinilah menarik untuk mendiskusikan konflik dan pergumulan antara Islam esoteris (tasawuf) dan dunia politik (pemerintahan) dalam menunjukan eksistensinya sebagai lembaga keagamaan dan kemasyarakatan. ***
N.E. Brutsen dalam bukunya, Tarikh Libya Fi Al Ashri Al Hadits: Muntashif Al Qurn Al Sadisa Al Ashara-Mathla’i Al Isyrin, meriwayatkan peristiwa yang terjadi pada abad ke 19. Saat itu, imperium Turki Ottoman (selanjutnya saya tulis: TO) mulai rapuh. Daulah Islam terakhir di dunia itu tidak mampu membendung arus ekspansi Barat. Penyebab melemahnya TO, menurut para tokoh muslim kala itu, adalah akibat kemunduran ekonomi di dunia Islam, selain kemerosotan pada bidang budaya karena pembesar-pembesar Turki bermental dan bermoral rendah serta mendewakan gaya hidup hedonis. Hal ini mengundang keprihatinan sebagian tokoh-tokoh muslim, di antaranya, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Ajakan mereka merekonstruksi Islam (islah al islam) mendapat respons positif dari dunia Islam, maka dengan cepat gemanya menyebar ke mana-mana. Di antara isi seruan terbebut mengajak ummat Islam untuk menata kembali perekonomian, pengetahuan, dan keilmuan serta wawasan dan meninggalkan kejumudan berpikir.
Berada di belahan wilayah TO nan jauh (dari kedua tokoh tersebut) lahir sebuah gerakan tarekat bernama tarekat Sanusiyyah yang kelahirannya “dibidani” oleh Muhammad Ali Al Sanusi. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1837M. Ali Al Sanusi dilahirkan di Mostaganem, Al Jazair, pada tahun 1787. Ali Al Sanusi mendalami tasawuf di Marakes, Maroko. Ia tidak hanya pakar agama, dalam memimpin pun jagonya. Saat TO membentuk tim pergerakan renaissance Eropa, Ali Al Sanusi salah satu orang anggotanya. Namun, tidak jelas latar belakangnya tiba-tiba tarekat yang ia pimpin menjadi oposisi utama Ottoman.
Berbekal kemampuannya sebagai memimpin, Ali Al Sanusi lalu menyebarkan terekatnya sampai membentang ke arah timur hingga masuk ke Mesir. Di wilayah selatan pengikutnya tersebar di Sudan dan Tchad. Pengikut Sanusiyyah juga berada di Al Jazair dan Tunisia. Dengan modal kemampuannya berbahasa Inggris dan Prancis, di Tchad Ali Al Sanusi kembali sukses melebarkan dakwahnya hingga memasuki wilayah Koufra pada route Karavan, antara Wadai dan Benghazi, sejak tahun 1894.
Misi gerakan tarekat ini adalah memurnikan kembali ajaran Islam ke doktrin yang murni dan mendirikan negara Islam yang berdaulat serta bebas dari tangan penjajah. Namun, isu-isu yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani sedikit menghambat penyebaran tarekat Sanusiah. Sebab, menurut Nicola Ziyadah, ”Seruan mereka berdua lebih modern dari pada gerakan tarekat Sanusiyyah dan gagasan-gagasannya juga lebih komprehensif, maka lebih mudah diterima oleh mayarakat Arab.” Selain itu, masih menurut Nicola, gagasan mereka sesuai dengan konteks dan memiliki korelasi yang kuat dengan pemikiran masyarakat Arab.
Meskipun demikian, penduduk Tripoli tetap menjadi pengikut setia tarekat Sanusiyyah. Apalagi setelah tokoh perjuangan Libya nan melegenda, Omar Al Mukhtar, menjadi pengikut panatik tarikat sufi ini. Bergabungya Al Mukhtar dengan tarikat Sanusiyah jelas menjadi udara segar. Disamping kemampuannya dalam Agama dan politik, ia juga seorang pejuang yang mampu membuat pasukan Italia terserang ”migren.” Lion of the Desert dari Libya itu bagi Italia adalah enemy of interior. Kemampuan diplomasinya yang luar biasa mampu menyatukan suku-suku Libya yang sejak lama terkot-kotak akibat termakan fitnah Italia yang memecah-belah suku. Di bawah pimpinannya tarekat Sanusiyyah tidak kenal lelah bergerilya di gurun sahar demi terwujudnya kemerdekaan dan kebnagkitan Libya.
The International Magazine on Arab Affair Special Report mencatat peran anggota Sanusiyyah nan perkasa itu, ”Bagi tentara Italia yang jauh lebih kuat persenjataanya, para pejuang Libya barangkali hanyalah sekelompok orang bersenjata tidak berarti. Namun, dibawah pimpinan Omar Al Mukhtar para pejuang itu membuat Italia berperang tanpa akhir di padang pasir hingga akhirnya mereka harus mengakui kehebatan dan kekuatan kaum tarekat, menyerah. Mereka datang bagaikan burung Ababil yang perkasa dan menakutkan para musuh yang dapat membuat tentara Abraham porak-poranda saat menyerang Ka’bah.”
Al Mukhtar tetap-lah Al Mukhtar, seonggok daging sama seperti manusia yang lain. Setangguh apapun ia kematian pasti mampir jua. Persenjataan yang tidak seimbang cukup sebagai alasan untuk membuat para pejuang ”kelelahan.” Al Mukhtar tertangkap di padang Koufra. Kemudian, dihukum gantung di hadapan pengikutnya pada 1932. Itulah potert sejarah kepahlawanan para sufi yang tidak pernah takut mati dan kemiskinan dalam membela rakyat dan Negara. Akan tetapi, jika prediksi pemerintah Italia bahwa dengan digantungnya pengikut panatik As Sanusiah ini akan memadamkan gerakan tarikat dan anggotanya yang lain dalam membela kebenaran dan martabat bangsa, maka prediksi tersebut salah besar. Justru kesyahidannya telah membakar semangat generasi muda Libya untuk bisa mewujudkan harapan bersama: Libya harus merdeka dan bangkit dari cengkeraman penjajah.
Pada 31 Januari 1942M anak-anak muda Libya yang sedang study di Kairo mendeklarasikan Jamiyyah Omar Al Mukhtar dengan misi: mencapai kemerdekaan Libya (Izzuddin Abdussalam, Tarikh Libya Al Muashir Al Siasi Wa Al Ijtimai).
Akhirnya, perjuangan tarekat Sanusisyah untuk mendirikan negara independen tidak sia-sia. Karena pasca-Perang Dunia ke II atas bantuan Inggris dan Uni Soviet Libya merdeka dan langsung mendapatkan pengakuan dari PBB. Dan pada saat itu terjadilah aklamasi mengangkat cucu pendiri tarekat Sanusiyyah, Idris Sanusi, sebagai raja Libya pertama pada tahun 1952 dengan nama Raja Idris I. Demikianlah sekilas tentang peran tarekat sufi (Sanusiyyah) bagi kebangkitan nasional (Libya). Awalnya mereka mulai sebagai oposisi dinasti Utsmaniyyah yang tidak memihak rakyat sampai akhirnya mampu menyingkirkan penjajah Italia, lalu keluar menjadi golongan nomor satu di Libya. Tapi dengan adanya kudeta tidak berdarah oleh salah seorang perwira muda, Moammar Khadafy yang baru pulang dari Inggris (1969), maka dinasti (tarekat) Sanusiyyah berakhir.